Mempertahankan gelar juara Kampeonturnoi PSSI tahun 1934 menjadi misi VIJ di Solo. Kejuaraan tertinggi PSSI kala itu diikuti oleh empat tim tangguh di eranya.
Setelah upacara pembukaan kompetisi PSSI 1934 oleh Ir Soeratin Sosrosoegondo, resmilah Persis Solo, PSM Madiun, SIVB Surabaya dan VIJ Jacatra bertarung memperebutkan gelar juara sepak bola untuk Indonesier.
Sebagai juara bertahan, VIJ mendapat tekanan yang cukup berat. Penonton Solo lebih memilih mendukung tim lawan VIJ. Sangat dimaklumi karena Persis Solo pernah kalah 2-0 dari anak-anak Betawi dalam laga pendahuluan kompetisi di Laan Trivelli (Baca bagian 1).
Baca Juga
Beruntungnya pula VIJ sudah menghadapi Persis Solo di laga pendahuluan, dan dengan begitu ‘Si Merah-Poetih’ tidak perlu menghadapi Persis yang sudah pasti kuat dengan sokongan pendukungnya di Stadion Sriwedari.
Tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya bisa dihindari. Saat laga pertama melawan PSM Madiun, penonton Solo memberikan dukungannya kepada bond dari ‘Poerbaja’ tersebut. Penonton membludak hanya untuk melihat VIJ kalah.
Sayangnya, harapan penonton Solo melihat kekalahan VIJ tak terpenuhi secara lahir batin. Pasalnya, barisan pertahanan bond Betawi itu terlalu tangguh bagi anak-anak Poerbaja. Beberapa surat kabar selalu memuji pasangan bek Iljas dan Boeang sebagai pasangan belakang yang tangguh dikalangan Indonesier.
VIJ mampu mengalahkan PSM Madiun dengan skor telak 4-1. Seperti biasanya, Enoch dan Boengboeng menjadi pemain yang membuat orang-orang Betawi sumringah saat membaca surat kabar yang membuat berita kemenangan VIJ. Kemenangan besar itu membuat langkah VIJ juara tinggal selangkah lagi.
Di laga kedua VIJ, ‘Si Merah-Poetih’ bertemu dengan rival terkuatnya tahun lalu, yakni SIVB. Inilah saatnya wong Solo mati-matian memberi tekanan ke VIJ dan mendukung SIVB agar kans juara Persis terbuka. Hasil seri saja sudah cukup untuk VIJ mempertahankan gelar juara PSSI.
Surat kabar dari Solo, Surabaya dan Jakarta menyebut laga Surabaya-Jakarta itu dengan sebutan ‘Kota Sunan Ampel melawan Kota Kiai Jagur’. Mungkin inilah pertandingan sepak bola terbesar Indonesier pada masa itu.
Penonton Solo langsung dibuat deg-degan saat VIJ lebih dulu membobol gawang Surabaya. Hoedoro menjadi aktor intelektual dengan golnya sekaligus membuat VIJ unggul cepat. Permainan VIJ bisa dibilang halus dan menarik, dan dari hasilnya kembali terlihat saat Hoedoro membuat gol kedua VIJ.
Tetapi bukan Surabaya namanya jika menyerah begitu saja. Usai turun minum, Arek-arek Suroboyo mengambil alih permainan dan membuat VIJ kewalahan. Hasilnya, pemain depan SIVB bernama Darmaji akhirnya membuat gol ke gawang Tobing dan kini gantian VIJ yang ketar-ketir dengan posisinya.
Alasan kenapa VIJ ketar-ketir karena penonton Solo begitu riuh dan meminta Surabaya untuk membuat gol lagi. Dukungan para pendukung memang menjadi kekuatan yang kuat bagi Surabaya, dan pasangan Iljas-Boeang tak kuasa menahan laju gol kedua Surabaya.
Kedudukan imbang membuat laga menjadi semakin menarik, tetapi disinilah mental juara VIJ berbicara. Para pemain VIJ mengerti harus merespon serangan-serangan Surabaya dengan cepat. Andalan lini tengah VIJ, Soeharna berkali-kali membuat umpan-umpan yang membahayakan gawang Surabaya lalu Boengboeng larinya cukup membuat bek-bek Surabaya.
Walau seru sampai akhir, kedudukan 2-2 bertahan hingga akhir dan cukup membuat VIJ menjadi kampiun. Hasil itu cukup bagi VIJ menjadi kampiun sekaligus membuat Persis gigit jari. VIJ mendapatkan Piala dari Sri Soesoehoena, Piala bergilir dari MH Thamrin dan juga vandel plus medali juara dari PSSI yang langsung dibawa pulang ke Betawi.
Source: Laman Persija 2016
Subscribe Our Newsletter
0 Komentar
Post a Comment